Pekabar Di Akhir Mei Yang Gugur
“engkau rakit kembali gigil siang
bersama hujan di bawah ranjang”
Pekabar di akhir mei yang gugur
Melantakkan kesunyian sepanjang pesisir
Angin di darat meruntuhkan kenangan
Angin di laut mengajak rindu kedalam tatapan
Lalu, rambutku-rambutmu berguguran
Menahan gigil hilang dekapan
Sementara aku sedalam imaji
Ingin kembali mengaji tubuhmu dalam mimpi
Berabat-abat dalam hitungan sepi
Merenangi sudut pantai bersampan puisi
Dan tiap kali aku rindu membakar waktu
Adalah bibirmu yang merah jambu
Sesenyum laut mengajakku mencumbu langit
Lalu, batu karang dim-diam membawamu
Kesuluk kenangan bersama debur ombak
Di akhir mei yang gugur
Jadung, 01 Oktober 2010
Pagi Yang Basah Kenangan
Hujan yang datang bermain kekampung halaman
Adalah kerinduannya membasahi pagi
Pun juga sisa seluruh kenangan
Hingga separuh tumbuhan
Bermekaran di dada bumi
Sementara aku sesenyum laut berkurung langit
Terus menyisiri gigil batu
Engkau yang selalu kuharap sedalam derap
Seringkali muncul di lubuk ingatanku
Seperti bayang dalam dekapan
Sejauh peluk bayangan ini, tak dapat kusekap
Selain banjir rindu
Apalagi yang tersisa dari hujan sebasah kenangan pagi itu
Kampung halaman, 24 Mei 2010
Gigilmu Di Negeri Rantau
Pada ranting hujan kurobek nanar matahari
Hingga pada selembar hijau bibirmu
Daun yang basah rindu
Lalu, kukecup kening udara
Pohon-pohon tumbang dalam pelukan
Mengalirkan darah-darah
Sebab kau-aku gelisah menatap gigilmu
Di negeri rantau
Dalam ratapan jauh pun bulan dan angin
Selalu begandeng tangan sepanjang jalan
Membuat dadaku berombak semalam suntuk
Mungkin dari perjamuan silsilah
Tangis yang menghampiri kita
Lebih luas dari secuil aubade serta air mata
Angin yang kutunggangi
Lebih luas dari secuil aubade serta air mata
Angin yang kutunggangi
berduyun-duyun-berlari kedalam sunyi
Ingin menaiki tangga lentik separuh matamu
Memetik bunga-bunga Leli
Lalu jatuh-rebah ke dalam jantungmu
:aku tak jadi mati
Memetik bunga-bunga Leli
Lalu jatuh-rebah ke dalam jantungmu
:aku tak jadi mati
Kau Yang Berenang Di Mataku
Siang itu telah runtuh sebelum kemaren tersobek mendung
Dari kesunyian matamu; kasih
bersama ledak hujan kerinduan yang sengaja kutumpahkan
bersama ledak hujan kerinduan yang sengaja kutumpahkan
Dari palung hatimu
Lalu kemudian kuturunkan lagi sebidang senyum
Kala pagi yang kita tingggali telah sepi dari hari
Serta separuh kalender januari yang kita miliki
Karena jarak antara hatimu-hatiku masih tak mati
Meski jalan keriduan bukan tujuan dari mimpi ke mimpi
Akulah mendung penutup kalut air matamu; kasih
Ketika gerimis malam mendedakkanku
Meski jalan keriduan bukan tujuan dari mimpi ke mimpi
Akulah mendung penutup kalut air matamu; kasih
Ketika gerimis malam mendedakkanku
Pada ritmis kerinduan
Namun, tiba-tiba tubuhku basah
Namun, tiba-tiba tubuhku basah
Sementara kau masih jauh memeluk malam
Lalu rebah kedalam bulan
Kau-aku biarkan tinggal bersama petang
Lalu rebah kedalam bulan
Kau-aku biarkan tinggal bersama petang
Di kota sunyi, tanpa sayap matahari
Tiap pagi yang menghampiri
Biasa aku terbang memeluk bayangmu ke dalam diri
Sepi dan senyap menjadi sahabat kesunyian
"hanya engkau yang berenag di mataku"
Malang , 09 November 2010
"hanya engkau yang berenag di mataku"
Narasi Pagi Yang Lebih Sunyi Dari Matahari
Di antara pematang tubuh matahari
Kau siul Pipit dan jerit pematang pagi
Begitulah getar alam sekaligus tangis bumi
Sebab tadi malam engkau kehilangan senyum
Dari wajah bulan
Sampai garis putih matamu pecah tak bertanggal
Jejak hujan makin dalam menusuk malam
Menjadikan sunyi menari-nari dalam tidur baringmu
Hanya engkau warna mimpi paling sejati
Menunggu sepi yang lain
Yang lebih sunyi dari matahari
Dan selembar bumi menjadi saksi dalam senyummu
Barangkali bukan bumi, tapi rajam sunyi
Bertahun-tahun kita gamit dalam diri
Sajakku Yang Gagal Mendekap Air Mata
Pagi ini, aku ingin mengajakmu
Jalan-jalan ke bukit batu
Dimana dulu burung-burung berlarian
Beranjak dari semak kemudian masuk kejantungku
Mengukir angin, nafas hujan, dan kabut rumput
Yang berkeliling di batang rambutmu
Serta pada ujung waktu yang lain dari kemarin
Aku ingin kembali mengajakmu
Menyisiri sungai dan hutan-hutan
Yang retak dalam dada
Masih ingatkah kau, saat kemarin kita bermain angin
Di bawah ombak laut selatan
Kujala udara di pinggir pesisir matamu
lalu kau mengajakku pergi menyusul matahari
Bersama remukan-remukan pelangi pagi
Hingga kata-kata dalam sabda
Mengalir dari daun ke akar jiwa
Lalu menancap di jantungmu mencipta sungai
Barangkali itulah sajakku yang gagal mendekap air mata
Lantaran engkau seekor lumba
Di jalan-jalan mestinya bukan hujan
Yang datang menjumpai angin
Mestinya gerimis atau pun ritmis penyucian
Sebelum kemarin kau pisahkan siang dari pelukan
Sementara musim semi di jantungku
Masih gigil belum kemarau
Bersama daun-daun yang sembab pada matamu
Menangis dalam jejak hujan kerinduan
Puncak; Jalan Kenangan
( Awan’s terkasih)
1/
Malam itu, senyummu seperti hujan menabrakku
Dari lubang rindu
Menembus tebing jantung berpuing
Dan seluruh akar tubuhku mengabu ke bumi bibirmu
Engkau yang selalu berbaring dibawah ranjang
Bersanding gerimis pagi
Seringkali menangis sendiri di alam hati
Terus berlari melarung sunyi
Dan aku tak jadi basah meski hujan kenangan
Telah bertahun-tahun mengucap pisah
2/
Namun, aku yang diam senantiasa kembali
Mengharap engkau ke dalam diri
Hutan-hutan telah jauh mengelana ke alam rindu
Disini semua telah berbubar menutup barisan
Kenangan tercecer di jalan-jalan
Kau-aku serupa jarak dan waktu
Terkepung selaut rindu
Kemudian angin ingin meruntuhkannya
Lewat ombak yang kita pijak
Lewat hari-hari yang kita punyak
3/
“kini segenggam laut menjadi saksi
atas pergimu menyusul hari”
Angin malam menjauh ke alam selatan
Angin siang membuka barisan
Disini pada pucuk-pucuk janur kuning
Dan kabut rindu yang mengitari magis
Dalam alunan kasih deru angin
Kelabu januari ini
Hanya tinggal sebaris ombak sisa kenangan
Pada pepantai hijau mataku-matamu
4/
Hingga setelah jauh engkau seluruh
Ingin kupotret kembali sisa dedak senyummu
Yang tinggal ampas diatas remukan-remukan pasir itu
Dimana ketika setapak kemarau kutemukan lagi
Bersama persaksian bulan wajahmu
“bahwa engkau jadi milik matahari”
Di Daun-Daun Kuning
Hujan yang datang berkunjung ke kampung rumahmu
Menggigilkan hutan-hutan-gelembung batu
Semua menjerit mengadu luka pada langit
Hanya sehelai daunan kuning habis renta
Menyanyikan lelagu tuhan bertasbih pada hujan
Bet,!!! Malam ini subuh di matamu pecah tak bertanggal
Katamu, depan Surau tua itu
Sambil asyik menikmati sebatang rokok
Dan meneguk secangkir kopi
kita menghabiskannya sampai
Malam benar-benar runtuh
Dalam ruang dada pagi
Di daun-daun kuning
Setelah hujan turun bertamu kepada malam
Yang kau genggam
Kata-kata sepi dalam puisi, gerimis pun sunyi
Langit sepi sujud pada bumi
Hutan-hutan menjelma remukan firman
Kemarau padam
Bersama reruntuhan hujan; hunjam
Disini hanya tinggal cuaca sedih menunggu
Bersama sekepal tanah basah
Kuyup oleh embun sajak-sajakku
Di daun-daun kuning
Seringkali kau jumpai lolongan air mata, kisah kering
Yang lain dari gigil angin
Dalam sujud, aku beranjak membobol langit
Kemudian hujan turun berduyun-duyun
Membanjirimu dengan taufan
Dan engkau tidak berlari
Tetap sembunyi dalam diri
Di Bawah Embun
Matamu adalah bukit tinggi
Tempat kudaki segala puncak hasrat suci
Sungai-sungai datang berlarian
Menghampiri kita kolam air mata
Namun, pagi ini kasih!
Di bawah embun reranjang subuh
Akan kupetik bunga-bunga rindu
Dari cahaya surga yang paling Neraka
Seperti pula sebelum kemarin
Jagung-jagung tumbuh di dadaku bermekaran
Serupa lehermu ranum pohon siwalan
Barangkali benih rindu
yang sengaja kau tangcapkan di taman jantungku
Telah tumbuh airmata semanis madu
Lalu kudesaukan salam terumbu karang
Sambil kutidurkan gelombang angin
Pada biru hujan yang bertengger
Di letih-letih garis kawan bibirmu
Bersama huruf-huruf abjad tunggal
Mati di Almari hijau dadaku
Lalu,daun-daun mengecup udara
Membaca salam pada langit
Mataku-matamu
Di Bawah“Bromo”Gerimispun Terbakar
Tak dapat kubayangkan
Bila segala batuan melepas peluk dari putaran bumi
Hutan-hutan telah menjelma remukan air mata
Gerimis berdebar dengan mantra-mantra batu
Angin, laut dan rumput berkabut terperanjat
Lalu menjerit saat malam menyapu
Di jalan-jalan seringkali kujumpai tangis pohon
Dan gigil daunan di perbatasan sunyi
Serta lekuk pandang patah bertebaran
Menggelegakkan sebuah perhitungan baru
Kota-kota mati tenggelam dalam gelembung angin
Kemudian terkubur ke gubuk pasir
Sementara dalam diriku kemarau retak tak bertanggal
Merangkak mencari jejak hujan di bukit-bukit laut
Lalu beranjak ke kaki gunung gerimis pun terbakar
Hanya tinggal cuaca kawah menunggu
Di bawah Bromo bersama ledak hujan kematin
Pada Labirin Malam Lebaran
Saat bulan tersumbat di udara; bergantungan
Geriap suara sayap-sayap sunyi
Berlompatan dari tangkai malam
Kepematang bumi
Mengairi diam gelisahku
Lingkaran dan pecahan awan
Menyatu dengan getar embun
Hanya tinggal sesobek angin bersama selembar takbir
Berjumpalitan di surau-surau
Membekukkan tahajjudku-tahajjudmu
Yang lebih purba dari senyum matahari
Pada perbatasan sunyi simpang jalanan jaman
Sungguh telah kutemukan sendiri
Kebahagiaan sekaligus kemenangan dalam diri
Kemudian, pada detik akhir desember
Kerinduan semakin merangkak ke dalam sajak
Menumbuhkan kembali sejagung benih airmata
Lantaran akulah halaman juz langit
Yang terpenggal ayat laut
Hingga firman dalam sabda gagal mengalir kedalam jiwa
Mari kita nyalakan lagi api telanjang
Dibawah sajadah sujud subuh
Sebelum putaran kalender januari gugur oleh rajam hujan
Mengubur separuh jejak ma’afku di daun-daun
Sajak Pengantar Matahari
(Buat Ibunda)
Selamat pagi
Matahari Madura
Bakarlah segalah basah rinduku
Dengan kasih senyummu
Unitri Kampus Pagi
Bersama engkau
Akan ku renyuhkan
Batu-batu Logam dalam hutan otakku
:menjadi sebuah rumah istana Jepang
“UNITRI”nama kampus Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
Setangkai Kerudung Melilit Di Tiang Annuqayah
Senyummmu yang terletup dari gigil angin dan cuaca pagi
Meleburkan tatapanku di malam-malam; berhamburan
Sampai subuh di dadaku lepuh tak bertanggal
Helai rambutmu masih basah
Bergantungan di separuh bulan
Lalu jatuh ke dalam udara bayanganku
Melepas rambatnya hingga rindu…
Entah…
Adakah cara lain selain rindu, banjir menghanyutku
Tiap kali hujan datang menjemput waktu
Pada jejak rumput engkau merajut
Ataukah airmata yang di ikat ketiang-tiang masa
Perjumpaan beikutnya
Setelah kita benar-benar terlempar
Dari daun Annuqayah
Kisah Dua Tubuh Mungil Di Hotel
Antara engkau dan aku tak boleh pisah
Katamu; depan pintu Hotel itu
Apalagi menutup jarak hingga bayang jauh
Sebab mataku terlanjur satu
Aku tak dapat menyekatnya
Dua tubuh mungil bergelimpangan
Di alam kasur
Di lahirkan dari hutan gembur
Mereka berpencar mencipta kenangan
Satu kelaut utara, satu lagi kealam selatan
Sambil lari menghitung rambutnya sendiri
Yang baru saja tumbuh tak sampai satu hari
Lalu, ia pergi pelan sekali
Serupa bumi berputar dalam diri
Seperti matahari berpendar dari hati
Catatan Di Suatu Surau I
Aroma pagi mengantarkan sujudku
Pada sajak pertemuan malam dan tilam
Dari jejak pintu batu-batu
Kurobohkan lima belas purnama
Gerimis berlarian kedalam dada
Menutup pintu udara
Mengunci langit retak bumi semesta
Jejak berikutnya, aku sendirian berkurung malam
Setia jadi kawan bagi kelam
Catatan Di Suatu Surau II
Sepertinya ada yang gagal kurangkum
Dari pecahan Adzan sore ini
Burung-burung jalak menari-nari
Seperti irama kata dalam tubuh puisi
Di balik kejauhan bening kaca Surau tua
Tapi tidak setua pendar matahari
Seorang nenek renta mengaji sendiri
Tertatih-tatih tak kuhargai imaji
Sungguh sampai kelangit
Anyirnya titik keringat
Mengalir serupa detik dan menit
Sebentar aku ingat, serta mestinya kau gamit
“gugur musim bukanlah kegagalan
Melainkan peringatan gigil hujan”
Sebagi Seorang Perantau
Pertama kali kuinjakkan sepatu
Di kaki Malang
Jejak laut dan bumi tak jauh
Kencangnya gelombang jantung
Warna Kota dan Desa
Batasnya hanya di dada
Begitu pula Suraunya penuh ngiung Kucing
Atau entah seekor Kambing
Yang di potong sepatu kakinya
Sebagai seorang perantau
Aku setia mengembala Surau
Sebab kehidupan
Telah kutitipkan di hati kemarau
Berangkat dari niat kereta suci
Disinilah barangkali
Tempat yang subur kupanin Puisi
Untuk esok yang menanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar