Pengikut

Senin, 11 April 2011

KOLAM PUISI


Analog

-Engkau sebuah buku
:akulah Bulpoin bertinta biru

Berterbangan di atas awan
Semisal angin panas dingin


            Malang, 28 Desember 2010


Kota Dingin

Di kota ini
Kita melukis bulan
Dengan sepotong tinta daun hujan
Bulan yang telah lama pecah
Di pelupuk gerhana mata kita
Barangkali sunyi bagi seikat bunga puisi
Atau awal runtuhnya  gigil matahari

Di kota ini
Aku ledakkan ribuan kata
Memasang tubuh sepatu yang riuh
Sampai maqam runtuh dibawa langkah
Menjelma beribu tikungan  kita pada sejarah

Di kota ini
Hujan datang bergantian
Bertamu kesudut halaman
Ada sesuatu yang terlipat di setangkai rintiknya
Diam, pelan…aku tulis rangkai gelisah yang tertirah
Tak sampai pada guruh yang melahirkan hujan puisi
Begitu pula aku tak sempurna
Menyoal diri di atas kertas seputih matahari

Di kota ini
Adakah cara yang lebih berarti
Selain beruji
Menjawab mimpi di siang hari


            Malang, 02 januari 2011

Nostalgi

-karena wajahmu di atas madu
:izinkan aku menanam rindu
Sedalam gunung

            Malang, 17 Desember 2010

Kemarau Retak Di Udara Kota

Sekepal garam melebur kedalam Drum
Sekap udara pengap di dada
Seorang Darussalam bicara
“Disini kota
Tempat perantauan para durja
Seikat bunga, dan orang-orang
Yang haus puisi

            Malang, 31 Desember 2010


Tahun Baru Gagal Di Kakiku

Setelah kubaca duabelas ayat-ayat tanggal
Gugur pada musim cuaca
Menyemai gigil udara Kota

Januari ini, aku merangkak kedalam sajak
Mencari jejak hujan yang belum gerimis
Seperti kemarin engkau menangis
Di pundakku jadi jejak matahari

Setelah jauh rambutmu seluruh
Berguguran kelantai
Tempat pemandian para Kahfi
Kalender itu terus biru
Tumbuh di dadaku
Tak luruh dan tak baru 

            Malang, 31 Desember 2010

Januari Yang Suram

Tak usah kau rintihkan
Tentang tahun baru itu
Kepucuk daun telingaku
Sebab buah Januari
Telah kehilangan gairah kecutnya
Serta aku pun pupus arah
Kemana jejak tubuh harus melangkah

Bahkan dalam ingatanku pun
Muhammad kehilangan Hijriah
Isa telah lama hijrah kedalam Masehi
Lalu, Terompet karet di alun-alun
Kembang Api bergantungan di udara; berduyun-duyun

Entah apa artinya?
Orang-orang semakin jauh dari ruhnya

            Malang, 01 Januari 2011
 
Senin Kliwon

Senin Kliwon
Bulan terhimpit di ujung senapan;
Berkepingan

Gelap dadaku
Tak da lelagu tahlil
Gelas dan Piring pun bisu  

Tapi mengapa hanya seusap debu Kemenyan
Yang terburu
Bersama kata-kata yang kedinginan
Menetas dari Salju

            Malang, 03 Januari 2011


Sepasang Laron

Sayap dan tubuhmu berlepasan
Menjadi sepasang senyuman
Di lantai-lantai tubuhku
Menggeliat kemasa depan atau masa lalu
Yang tak mungkin di lepaskan 

Laron itu,!
Sungguh bermain-main dalam pikiran
Lalu terbang kealam jantung
Mengukir kenangan masa silam

            Malang, 05 Januari 2011



Kutulis Sajak Putih

Berulang kali kutulis sajak putih
Di bibirmu yang kelabu
Agar aroma yang kau sebut rindu
Tidak membatu atau menugu dalam diriku

Kemarin sebelum kau berjalan kekota Batu
Angin sedih terasa genap dalam dadaku
Lalu beranjak jauh saat sajak putih itu  kuburu

:engkau pun jatuh dari mimpi-mimpi 

            Malang, 05 Januari 2011


Batu-Batu Rindu


Batu-batu rindu
Selalu menghimpitku
Saat-saat Senin dan malam Rabu

:tanah Madura yang kelabu

            Malang, 05 Januari 2011


Membajak Hujan

Selamat atas engkau telah bisa temui kemarau
Dalam sajak yang terkutuk lebih tua dari Neraka
Begitu kira-kira senyummu kau letuskan dalam luka
Dalam januari yang membasah
Ingin kutidurkan lekuk gelombang
Di atas bantal-bantal puisimu
Tampa baju dan selimut Empedu
Kemudian, aku menyelam semalaman
Bermandisiram kata-kata

            Malang, 05 Januari 2011

Nyala Embun

Garis berbaris sejajar
Pohon Nangger
Kudengar debar debur
Air terjun menggetarkan
Dada bumi
Retak sajak jejak bajak

:kunyalakan embun dalam puisi

            Malang, 06 januari 2011


Mendung Di Langit Malang

Selamat malam mendung
Silakan masuk kedalam jantung
Duduklah di atas ranjang
Ruang telah pekat
Menunggumu hampir sekarat

Berabat-abat di atas biru laut
Akulah langit bulat menggumpal
Semakin gigil berlari dan terus memanggil
Kearah utara kutub selatan
Hingga tak terukur jarak senapan

Dalam bayang nyala namamu
Engkau makin menggunung
Menggiringku kebawah tanah
Lalu terjun keatas awan menembus bulan
Hingga aku tau makna laut
Dalam bukan di bumi
Pun tinggi tidak di langit

Tiap malam embun datang
Engkau selalu kusebut sebagai rindu
“selamat malam mendung
silahkan masuk kedalam jantung”

Lalu kemudian aku naik kebukit-bukit tertinggi
Serupa Elang dan burung Merpati
Mencari malam dalam kabut dadamu
Kupuku-pukul bulan tak nyata, matahari, gerimis,
Dan segenap tangis

Tiba-tiba engkau diam begitu saja
Air menjelma debu dalam gelas
Angin pupus hembus
Serta daunan berhenti gerak
Dalam diri tak pernah beranjak

Tinggal engkau yang terus berlari
Keanak sungai mencipta imaji
Dan aku tak cukup aku
Meski engkau adalah diriku
Sebab warna langit sama biru

            Malang, 10 Januari 2011


Ritus Gerimis Bulan Agustus

Gerimis baru itu, mendatangkan tangis biru
Sekejap mataku bertalu-talu
Mengantarkan surat warna langit yang kelabu

Ritus gerimis bulan agustus
Menajamkan pikiran pada jejak ingatan
Yang menikung; dalam
Masa lampau, sekarang dan akan datang
Bergelombang dalam pikiran

Otakku serupa laut tak pernah surut
Meski biru airnya kau sebut kecut
Ia, akulah laut tak habis gelombang
Tempat menampung segala air matamu

            Malang, 11 januari 2011

*Sar Hawar

Riuh pagi bergemuruh
Seperti suaramu dalam hati
Lirih serupa rintih
Orang-orang sibuk menawar dirinya
Harga ikan laut sekaligus harga beras
Yang menipis
Sebab tikus-tikus makin merakus

Barangkali tak sampai kau jilat
Tawar-asin, udang-lautnya
Kudengar omongan nenek tua renta
Sesegar pagi udara desa

Kemudian secepat kilat ia menyingkat
Sebuah perhitungan baru
Dari pasar-pasar yang krisis lagu
Lalu berkata;
“Disini, tempat berkabung angin utara dan selatan
Untuk sekedar menghantar cuaca kesibukan”

Bertahun-tahun aku menunggu lagu suaramu
Yang segar itu di daun-daun, di lisih pasar
Yang kau sebut Hawar

            Malang, 11 Januari 2011
  
*Sar Hawar Sebuah Nama Pasar di Desa Jadung

Angin Januari

Seperti gelombang angin berlari kencang 
Dadaku gunung bergetar-getar
Berguling gulung di lantai jantung;
Tiang juntai berjuntal
Melibas kabel-kabel kehidupan
Nafas pohon terpenggal
Daun-reranting di tinggal

Engkau membawa mesin laut
Dan aku menjelma Neon langit
Setelah berulangkali hancur lebur
Menyala satu jadi biru; menunggu

:yang fasih hanya yang bisu

            Malang, 14 Januari 2011


Perempuan Berkaki Sorga

Perempuan itu, selalu melintas di depan pintu
Menggaris bumi, menghantarkan pagi kelantai-lantai
Tampa malam dan tilam tersungkur kehutan-hutan
Dari sebuah perhitungan hayat sumur yang sekarat
Kemeja mendatangkan surat-surat rindu
Seumpama lesak meghrib dan subuh yang lepuh
Diwajahnya terpendam bara api
Melelapkan jiwaku yang lelah mengeram purnama
Menebar kehangatan kesekujur badan
Mengusap kebekuan mengeringkan bercak embun
Di selembar kelopak alis dan pipiku
Batinku tunduk-tubuhku pasrah
Dan aku sangat percaya
:Engkau perempuan yang lebih mulya dari dingin surga
Sebab ia tumbuh di bawah kelopak kakimu
Lalu menebar bunga di jantungku
Tanganmu yang menyala lebih terang dari api
Di rambutmu terus gemulai seperti menari
Seperti melukis atau sekedar melambai
Menabur bebintang separuh malam
Di beranda hatiku yang gamang

            Malang, 15 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar